Dirut Susi Air, Berawal dari Bakul Ikan Sampai Punya 50 Pesawat
https://mondristawan.blogspot.com/2014/10/dirut-susi-air-berawal-dari-bakul-ikan.html
Siapakah sebenarnya sosok Susi Pudjiastuti? Ia adalah pendiri Susi Air
yang dikenal dengan penerbangan carter dan berjadwal melayani daerah
dengan geografis pegunungan hingga pulau-pulau kecil. Siapa yang
menyangka kalau Susi adalah seseorang yang tidak memiliki latar belakang
di dunia aviasi bahkan tidak menamatkan pendidikan tingkat Sekolah
Menengah Atas (SMA).
Wanita kelahiran Pangandaran 49 tahun silam tersebut, mengawali usaha sebagai pedagang ikan laut pada tahun 1983. Usaha yang ditekuni wanita pecinta olahraga selancar (surfing) dan fotografi ini pun terus berkembang. Hingga akhirnya berhasil mengeskpor produk-produknya. “Sampai akhirnya bisa ekspor tahun 1995 dari pabrik sewaan. Baru tahun 1996 bisa ekspor dari pabrik sendiri. Ekspor-ekspor terus ada krisis pada tahun itu tapi kita booming,” kata Susi kepada detikFinance di Hotel Hyatt Jakarta pertengahan tahun ini. Sukses sebagai eksportir lobster hingga udang tidak lantas membuat Susi menjadi cepat puas. Ia melihat adanya persoalan di dalam transportasi produk perikanan di wilayah Jawa bagian selatan.
Karena transportasi masih susah, membuat kualitas produk perikanan menurun padahal harga tertinggi adalah saat ikan dalam kondisi hidup dan segar. Berangkat dari sana, terbesit di benak wanita yang fasih berbahasa Inggris tersebut untuk memiliki pesawat sendiri. “Tapi di Indonesia kan transportasi susah. Bawa dari Pameungpeuk ke Pangandaran saja 8 jam. Mimpilah untuk punya pesawat Jawa bagian selatan itu bisa diangkut dalam waktu 2 jam,” sebutnya. Mulai tahun 2000an, ia mencari mencari perbankan yang bersedia memberi pembiyaan. Perjuangan Susi tak mudah karena kerap ditolak permohonannya oleh bank. Baru 4 tahun kemudian atau pada tahun 2004, ada sebuah bank BUMN yang bersedia memberi kredit untuk mendatangkan 2 unit pesawat baling-baling bertipe Cessna Grand Caravan. “Itu bulan November datang (tahun 2004). Kita mulai angkutin ikan dari Pangandaran sampai Jakarta. Itu kalau lobster hidup, biasa kalau pakai truk bawa 3 kwintal yang matinya bisa banyak tapi karena pakai pesawat jadinya kurang,” jelasnya.Baru sebulan tiba dan membantu mengangkut produk perikanan, Susi terketuk hatinya melihat bencana tsunami yang menerpa bumi Serambi Mekkah, Aceh. Ia memperoleh kabar bahwa ribuan orang meninggal dunia dan moda transportasi darat di sana terputus. Hanya angkutan udara lah yang bisa menjangkau seluruh wilayah Aceh guna membawa bantuan hingga tim medis. Bermodalkan uang pribadi, Susi berniat meminjamkan dan membiayai operasional pesawat miliknya untuk membantu saudara-saudara di Aceh selama 2 minggu.
“Niat kita bantu di sana bantu selama 2 minggu terus bawa uang Rp 400-500 juta waktu itu. Itu untuk operasional gratis terbang bawa dokter, makanan dan apa saja,” ujarnya. Setelah 2 minggu membantu membawa berbagai macam bantuan, akhirnya Susi memutuskan untuk menarik pesawatnya kembali. Karena pesawat tersebut akan digunakan kembali sebagai angkutan produk ikan milik perusahaannya.
Namun rencana Susi tertahan. Organisasi dunia (NGO) ingin tetap menggunakan pesawat milik Susi untuk mengirimkan bantuan dan sukarelawan di Aceh. Mereka pun bersedia menyewa 2 unit pesawat miliknya. Disanalah awal mula si penjual ikan asal Pangandaran itu terjun ke dalam bisnis penerbangan.
“Terus uang habis kita mau pulang tapi NGO bilang disini saja saya bayar. Akhirnya kita mulai nyewakan bisnis pesawat. Terus mulai bisnis tahun 2005 bulan Januari akhir. Itu mulai cari duit,” katanya. Saat terjun ke dunia penerbangan, maskapai milik Susi belum memiliki nama. Akhirnya seorang reporter televisi CNN menamai maskapainya dengan sebutan Susi Air. “Karena reporter CNN namanya Atika manggil di TV dengan sebutan Susi Air. Semua orang kemudian cari Susi Air. Jadi saya nggak mau ubah-ubah. Itu waktu tsunami Aceh. Maunya sih namanya Elang, Rajawali Air,” kelakarnya.
Dari hanya mengoperasikan 2 unit armada Cessna Grand Caravan, kini Susi Air menjelma menjadi salah satu maskapai terbesar di tanah air yakni dengan mengoperasikan 50 unit armada berbagai tipe. Yang terbaru, Susi Air mendatangkan 4 unit pesawat Dornier 228-202 dengan kapasitas 19 penumpang.Susi Air juga melayani penerbangan berjadwal dan carter. Mayoritas penerbangan berjadwal Susi Air adalah penerbangan ke bandara-bandara yang memiliki keterbatasan infrastruktur dan kondisi geografis sulit. Dari 750 bandara di Indonesia, Susi Air telah masuk dan melayani sampai ke 200-an bandara. Guna mendukung penerbangan, Susi Air merekrut hampir 200 penerbang. Mayoritas pilot yang bekerja di Susi Air adalah penerbang asing. “Sekarang kita sudah ke 214 destinasi atau bandara yang dituju. Itu yang rutin alias reguler kalau yang nggak rutin ya lebih banyak lagi. Bisa sampai 400-500 destinasi,” paparnya. Selama hampir 9 tahun lebih berbisnis di dunia penerbangan, perjalanan Susi Air tidak selalu mulus. Armada Susi Air pernah mengalami kecelakaan. Selain itu, Susi Air kerap menghadapi persoalan birokrasi yang dinilai paling menghambat industri. “Susi diberi kemudahan lah, kalau perlu Susi Air butuh apa kasih hari. Jadi aktif dalam sinergi dengan pemerintah. Kita sudah taruh modal, risiko besar, kalau kecelakaan diedel-edel setengah mati. Satu sisi birokrasi itu nggak habis-habis,” tegasnya. Meski kendala kerap menghinggapi dirinya, Susi pun memiliki cerita yang bisa dibagikan kepada wanita atau pengusaha muda. “Saya pikir perempuan harus hemat, tabah, harus kuat harus fleksibel. Kalau lebih besar daripada tiang kan bisa bangkrut. Sama manage keuangan, waktu, hidup, manage kolega. Kalau gagal bangkit, kalau gagal lagi dianalisa, kalau nggak bisa ya ganti haluan,” ceritanya.
sumber : detik, 23 Okt 2014
Wanita kelahiran Pangandaran 49 tahun silam tersebut, mengawali usaha sebagai pedagang ikan laut pada tahun 1983. Usaha yang ditekuni wanita pecinta olahraga selancar (surfing) dan fotografi ini pun terus berkembang. Hingga akhirnya berhasil mengeskpor produk-produknya. “Sampai akhirnya bisa ekspor tahun 1995 dari pabrik sewaan. Baru tahun 1996 bisa ekspor dari pabrik sendiri. Ekspor-ekspor terus ada krisis pada tahun itu tapi kita booming,” kata Susi kepada detikFinance di Hotel Hyatt Jakarta pertengahan tahun ini. Sukses sebagai eksportir lobster hingga udang tidak lantas membuat Susi menjadi cepat puas. Ia melihat adanya persoalan di dalam transportasi produk perikanan di wilayah Jawa bagian selatan.
Karena transportasi masih susah, membuat kualitas produk perikanan menurun padahal harga tertinggi adalah saat ikan dalam kondisi hidup dan segar. Berangkat dari sana, terbesit di benak wanita yang fasih berbahasa Inggris tersebut untuk memiliki pesawat sendiri. “Tapi di Indonesia kan transportasi susah. Bawa dari Pameungpeuk ke Pangandaran saja 8 jam. Mimpilah untuk punya pesawat Jawa bagian selatan itu bisa diangkut dalam waktu 2 jam,” sebutnya. Mulai tahun 2000an, ia mencari mencari perbankan yang bersedia memberi pembiyaan. Perjuangan Susi tak mudah karena kerap ditolak permohonannya oleh bank. Baru 4 tahun kemudian atau pada tahun 2004, ada sebuah bank BUMN yang bersedia memberi kredit untuk mendatangkan 2 unit pesawat baling-baling bertipe Cessna Grand Caravan. “Itu bulan November datang (tahun 2004). Kita mulai angkutin ikan dari Pangandaran sampai Jakarta. Itu kalau lobster hidup, biasa kalau pakai truk bawa 3 kwintal yang matinya bisa banyak tapi karena pakai pesawat jadinya kurang,” jelasnya.Baru sebulan tiba dan membantu mengangkut produk perikanan, Susi terketuk hatinya melihat bencana tsunami yang menerpa bumi Serambi Mekkah, Aceh. Ia memperoleh kabar bahwa ribuan orang meninggal dunia dan moda transportasi darat di sana terputus. Hanya angkutan udara lah yang bisa menjangkau seluruh wilayah Aceh guna membawa bantuan hingga tim medis. Bermodalkan uang pribadi, Susi berniat meminjamkan dan membiayai operasional pesawat miliknya untuk membantu saudara-saudara di Aceh selama 2 minggu.
“Niat kita bantu di sana bantu selama 2 minggu terus bawa uang Rp 400-500 juta waktu itu. Itu untuk operasional gratis terbang bawa dokter, makanan dan apa saja,” ujarnya. Setelah 2 minggu membantu membawa berbagai macam bantuan, akhirnya Susi memutuskan untuk menarik pesawatnya kembali. Karena pesawat tersebut akan digunakan kembali sebagai angkutan produk ikan milik perusahaannya.
Namun rencana Susi tertahan. Organisasi dunia (NGO) ingin tetap menggunakan pesawat milik Susi untuk mengirimkan bantuan dan sukarelawan di Aceh. Mereka pun bersedia menyewa 2 unit pesawat miliknya. Disanalah awal mula si penjual ikan asal Pangandaran itu terjun ke dalam bisnis penerbangan.
“Terus uang habis kita mau pulang tapi NGO bilang disini saja saya bayar. Akhirnya kita mulai nyewakan bisnis pesawat. Terus mulai bisnis tahun 2005 bulan Januari akhir. Itu mulai cari duit,” katanya. Saat terjun ke dunia penerbangan, maskapai milik Susi belum memiliki nama. Akhirnya seorang reporter televisi CNN menamai maskapainya dengan sebutan Susi Air. “Karena reporter CNN namanya Atika manggil di TV dengan sebutan Susi Air. Semua orang kemudian cari Susi Air. Jadi saya nggak mau ubah-ubah. Itu waktu tsunami Aceh. Maunya sih namanya Elang, Rajawali Air,” kelakarnya.
Dari hanya mengoperasikan 2 unit armada Cessna Grand Caravan, kini Susi Air menjelma menjadi salah satu maskapai terbesar di tanah air yakni dengan mengoperasikan 50 unit armada berbagai tipe. Yang terbaru, Susi Air mendatangkan 4 unit pesawat Dornier 228-202 dengan kapasitas 19 penumpang.Susi Air juga melayani penerbangan berjadwal dan carter. Mayoritas penerbangan berjadwal Susi Air adalah penerbangan ke bandara-bandara yang memiliki keterbatasan infrastruktur dan kondisi geografis sulit. Dari 750 bandara di Indonesia, Susi Air telah masuk dan melayani sampai ke 200-an bandara. Guna mendukung penerbangan, Susi Air merekrut hampir 200 penerbang. Mayoritas pilot yang bekerja di Susi Air adalah penerbang asing. “Sekarang kita sudah ke 214 destinasi atau bandara yang dituju. Itu yang rutin alias reguler kalau yang nggak rutin ya lebih banyak lagi. Bisa sampai 400-500 destinasi,” paparnya. Selama hampir 9 tahun lebih berbisnis di dunia penerbangan, perjalanan Susi Air tidak selalu mulus. Armada Susi Air pernah mengalami kecelakaan. Selain itu, Susi Air kerap menghadapi persoalan birokrasi yang dinilai paling menghambat industri. “Susi diberi kemudahan lah, kalau perlu Susi Air butuh apa kasih hari. Jadi aktif dalam sinergi dengan pemerintah. Kita sudah taruh modal, risiko besar, kalau kecelakaan diedel-edel setengah mati. Satu sisi birokrasi itu nggak habis-habis,” tegasnya. Meski kendala kerap menghinggapi dirinya, Susi pun memiliki cerita yang bisa dibagikan kepada wanita atau pengusaha muda. “Saya pikir perempuan harus hemat, tabah, harus kuat harus fleksibel. Kalau lebih besar daripada tiang kan bisa bangkrut. Sama manage keuangan, waktu, hidup, manage kolega. Kalau gagal bangkit, kalau gagal lagi dianalisa, kalau nggak bisa ya ganti haluan,” ceritanya.
sumber : detik, 23 Okt 2014