"Bungong Jaroe" dari Aceh Bagian Barat
https://mondristawan.blogspot.com/2014/06/bungong-jaroe-dari-aceh-bagian-barat.html
Beberapa kawan, spontan menanyakan oleh-oleh, setelah tahu sempat ke Aceh bagian barat sepekan yang lalu. Terang saja jadi bingung. Oleh-oleh apa yang harus dikasih, karna tidak ada membawa bingkisan apapun. Selain tidak ada yang khas, keterbatasan waktu lah yang tidak memberi keleluasaan berburu bingkisan.
Akhirnya, terbersit dalam benak mengurai pengalaman rawon-rawon sepekan ke Aceh bagian barat yang melintasi empat kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Selain sebagai permohonan maaf, catatan ini nampaknya bisa menjadi referensi menarik bagi teman2 yang belum pernah bertandang ke tempat ini.
Dengan mobil panther nopol B 1863 NA, bersama crew Aceh TV dan seorang staf Mercy Corp bertolak dari Kota Banda Aceh. Dari awal sudah sadar sesadar-sadarnya akan perjalanan jauh ini, sehingga prepare yang dilakukan lumayan heboh, layaknya kebiasaan pulang kampung ke Bali. Ransel dengan properti pribadi, travel bag yang menampung kebutuhan seminggu lebih, serta perlengkapan komunikasi menjadi jaminan kenyamanan selama sepekan . Dengan perkiraan 12 jam perjalanan menyusuri pesisir pantai barat, cukup membuat kening berkerut, tapi semua teratasi dengan niat yang cukup besar untuk mengetahui sisi lain perwajahan Aceh.
Cerita dimulai dari pantai Loknga- Aceh Besar, pantai berpasir putih yang menjadi primadona wisata domestik di Aceh. Pantai ini sudah lumayan dikenal sebagai destinasi wisata andalan Aceh. Jadi tidak akan lagi bercerita panjang mengenai kecantikan pantai ini, karna selain sudah dikenal pantai ini sudah terlalu sering aku sambangi.
Lepas dari Pantai Loknga, mata ini mulai dimanjakan dengan view elok. Di kiri jalan teronggok kokoh perbukitan menghijau sementara sebelah kanan terhampar pantai berpasir putih, dengan debur ombak menyapa bibir pantai.
Jujur!!, biasanya mata ini cepat redup bila melakukan perjalanan melelahkan, namun kali ini lain! seakan-akan tidak rela memejamkan mata, karna merasa sayang melewatkan momen demi momen. Kami pun sempat berhenti di puncak bukit geurutee yang menjadi perbatasan Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya untuk sekedar mengabadikan kecantikan bumi Aceh. Dari puncak Gerutee ini, kita bisa menikmati hamparan lautan luas dengan nusa-nusa kecil. Sekilasmirip pemandangan danau Tamblingan dan Buyan di Bali.
Akhirnya, kami pun memasuki kabupaten Aceh Jaya dengan Calang sebagai ibukotanya. Di Kabupaten Aceh Jaya ini terdapat sebuah perkampungan keturunan Portugis dimana terdapat gadis bermata biru yang begitu melegenda. Adalah Lamnoe tempat di mana mereka tinggal. Dulu, ketika menjejakkan kaki pertama kali di Aceh di tahun 2006, cerita mengenai perempuan bermata biru sudah sering dengar. Gadis berparas bule, kulit putih bersih, hidung mangir bagai sebuah legenda, karna sampai detik ini belum pernah melihat secara langsung. Kabarnya sebagian besar dari mereka menjadi korban tsunami yang melanda Aceh penghujung 2004 silam. Sayang sekali!!!!
Meski pasca tsunami Aceh telah mengalami proses rehab rekon di mana-mana, tetapi masih menyisakan sisi kesenjangan dalam pembangunannya. Perjalanan kami terhenti sejenak, karna terhalang sebuah sungai atau krueng dalam istilah Aceh. Satu-satunya cara untuk bisa menyeberangi sungai ini yaitu dengan memanfaatkan jasa penyeberangan rakit ponton yang dikelola oleh masyarakat setempat. Pemandangan yang cukup menarik, hasrat ingin tahu pun menggelitik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana cara mereka menyeberangkan orang, sepeda motor, dan mobil. Hanya terdapat satu buah rakit, sehingga kami harus menunggu untuk bisa diseberangkan. Sekali penyebrangan rakit ponton ini memuat kurang lebih 10 sepeda motor, lima sampai enam mobil. Untuk sebuah sepeda motor ditarik bayaran 5 ribu rupiah dan 20 ribu rupiah untuk setiap mobil sementara untuk penyeberangan orang tidak kenakan bayaran.
Jalan sepanjang Banda Aceh Calang yang kami lalui masih dalam tahap perbaikan. Di sana- sini masih kami lihat para pekerja yang sibuk melakukan proses pembuatan jalan dan jembatan. Terpikir, kalau bukan karna tsunami, mungkin perhatian terhadap Aceh tidaklah seperti ini, Aceh akan tetap diliputi gelap gulita dan konflik berkepanjangan.
Kondisi jalan berbatu dan berdebu dengan panas yang cukup terik menjadi teman sepanjang perjalanan. Kamipun melewati satu demi satu kabupaten mulai dari kota Calang, Meulaboh, Kabupaten Naganraya dengan hamparan kelapa sawit sepanjang jalan dan akhirnya kami sampai hampir tengah malam di kota Blang Pidie, Aceh Barat Daya.
Kabupaten Aceh Barat Daya adalah salah satu kabupaten di Aceh yang berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues di sebelah utara, Kabupaten Aceh Selatan dan Samudra Indonesia di sebelah selatan, Kabupaten Nagan Raya di sebelah barat dan Kabupaten Gayo Lues di sebelah timur.
Aceh Barat Daya mengandalkan sektor pertanian dan perdagangan untuk kelangsungan perekonomiannya. Hal ini ditunjang dengan posisinya yang sangat strategis di jalur dagang kawasan barat Aceh, khususnya kota Blangpidie yang sejak dulu menjadi pusat perdagangan di pantai barat Aceh.
Kota Blang Pidie sendiri adalah kota tua dimana masih terdapat bangunan tua sepanjang jalan kota. Ditilik dari dialek mereka mirip dengan orang Padang. Ada pemandangan menarik ketika sore di kota ini, terdapat berderet masyarakat yang menjual buah durian. Saking banyaknya penjual, harga dibandrol murah. Kalo di Setui Banda Aceh kita baru bisa menikmati durian dengan merogoh kocek 15 sampai 20 ribuan, maka jangan heran kalau di sini satu buah durian dijual dengan harga lima ribu rupiah. Kalau pinter menawar kita bisa dapat dengan harga 2 ribu rupiah..Yang tidak kalah penting, rasa buah durian Abdya uenak banget!!!.
Aceh Barat Daya juga memiliki berbagai potensi pariwisata alam dan budaya karena posisinya yang berada di antara pantai Samudera Hindia dan Bukit Barisan yang hijau. Tiga kilometer dari Kota Blangpidie Ibu Kota Kabupaten Aceh Barat Daya, terdamparlah sebuah pantai yang sangat indah yang menghiasi bibir daratan di ujung barat pulau Sumatera. Namanya Pantai Pusong Sangkalan, nama Pusong digunakan karena di Samudera Hindia dengan jarak 1 km dari bibir pantai terdapat “Pusong” (Pulau Gosong). Sangkalan adalah nama wilayah kemukiman di mana Pantai itu berada. Selain nama tersebut, pantai ini dikenal juga dengan nama Pantai Bali. Nah, kenapa sampai disebut pantai Bali??. Ternyata nama pantai Bali sebenarnya bukan nama yang resmi, menurut penduduk setempat banyak menyebutkan karena keindahan pantai tersebut tidak kalahnya dengan keindahan Pantai di Bali. Ada juga pendapat mengatakan karena ketika pertama sekali dibuka sebagai kawasan wisata, banyak wisatawan mancanegara yang datang menikmati keindahan pantai dengan bermain selancar dan berjemur ria dengan mengunakan bikini. Tapi yang cukup membuat kaget, ketika berbicara dengan salah satu orang di pantai ini, dialeknya mirip banget dengan logat orang Bali. Aksen orang Aceh dengan Bali memang rada-rada mirip terutama saat menyebutkan “T” . Malah ada joke kalau T di Bali itu Turis sementara T di Aceh Teroris. Namanya joke tentu saja itu tidak bener dan hanya menjadi guyonan kedai kopi. Teroris kan berarti orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut. Sementara dalam sejarah, membuktikan bagaimana patriotisme masyarakat Aceh telah terbukti ketika masa perjuangan. Patriotisme dan nasionalisme masyarakat Aceh yang tidak perlu diragukan lagi. Waktu itu, 16 Juni 1948, Bung Karno berkunjung ke Atjeh Hotel seraya mengutarakan kebutuhan RI akan pesawat buat memperkuat pertahanan udara dan mempererat hubungan antarpulau.
Dalam dua hari, pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) berhasil mengumpulkan 130 ribu straits-dollar, dengan ditambah emas 5 kilogram. Sumbangan masyarakat Aceh tersebutlah, kemudian digunakan Indonesia membeli Pesawat yang bernama Seulawah—gunung emas—oelh "Indonesian Airways, RI 001.
Sekarang replica pesawat "Seulawah" berdiri kokoh di depan Lapangan Blang Padang Banda Aceh. Cerita mengenai patriotisme ini membuat merinding setiap kali mendengarnya. Namun mengapa kemudian Aceh dikenal dengan semangatnya menentang Bangsa. Barangkali, jawabannya karna Aceh dimarjinalkan. Aceh memiliki kekayaan namun semua itu tidak dirasakan masyarakatnya.
Aceh adalah negeri yang subur dan kaya. Aceh memiliki sumber gas alam. Aceh juga memiliki bukit2 yang memiliki kandungan emas. Gunung Ujeun atau gunung hujan di Kabupaten Aceh Jaya misalnya, memiliki kandungan emas yang kini mengundang ribuan warga sekitarnya melakukan penambangan secara ilegal. Sempat pula mampir ke masyarakat setempat yang sedang mengolah hasil penambangan mereka dan melihat secara langsung bagaimana bongkahan2 batu dengan bercak2 kuning mengkilap yang konon adalah emas. Itulah sekilas cerita perjalanan selama ke Aceh bagian barat. Nanti juga pengen cerita perjalanan selama ke Tanah Gayo, sebuah kota di kaki bukit Burni telong..tapi nanti deh…..
23 Juli 2009 pukul 12:42